Refleksi Imajinasi Soliter Laksita
Asik dengan dunianya sendiri, begitulah sosok Laksita dalam cerpen "Gugus Khayal Laksita" karya Naelil Maghfirah. Laksita seringkali mendapat keluhan dari guru dan orangtuanya karena kebiasaannya itu. Memang akibat kebiasaannya melamun, nilai-nilainya memburuk. Bahkan orangtuanya khawatir Laksita tak akan lulus UN meskipun yang sebenarnya dibutuhkan Laksita adalah dukungan dan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya.
Impresi pertama saya ketika membaca cerpen ini muncul di beberapa paragraf awal. Cerpen diawali dengan permasalahan khas anak sekolah. Ujian, nilai, dan sebagainya. Akan tetapi, semakin jauh penulis membaca, rasanya seperti terseret ke dalam dunia Laksita. Penggambaran imajinasinya, terkadang mengingatkan saya akan diri sendiri, meskipun dengan media penyaluran yang berbeda. Pemikiran Laksita terasa tergambar secara jelas, menampilkan kepiawaian Naelil dalam menggubah imajinasinya ke dalam sebuah cerpen.
Social labelling yang dialami Laksita menggambarkan bagaimana tanggapan orang-orang di sekitar Laksita terhadap mereka yang berdeviasi dari mayoritas pada suatu kelompok. Label "bodoh", "gila", "idiot" dan sebagainya memiliki bahaya laten terhadap objek label. Lingkungan yang berisi social labelling dan tekanan dari berbagai pihak, terutama orang dekat, bukanlah lingkungan yang baik bagi kreatifitas untuk tumbuh subur. Hal seperti ini mungkin saja terjadi kepada Laksita-Laksita lainnya di dunia nyata. Lalu, siapa yang harus disalahkan?
Gagasan Naelil dalam cerpennya mungkin saja menggambarkan pengalamannya, walau tak secara eksplisit. Gagasan tersebut mungkin saja membukakan mata pembaca terhadap labelling. Bahkan dalam dunia sosiologi, studi tentang Labelling Theory of Deviance merupakan salah satu topik yang dibahas serius. Di sini saya menutup tulisan saya dengan bagian yang ditulis Naelil di akhir cerpen.
Impresi pertama saya ketika membaca cerpen ini muncul di beberapa paragraf awal. Cerpen diawali dengan permasalahan khas anak sekolah. Ujian, nilai, dan sebagainya. Akan tetapi, semakin jauh penulis membaca, rasanya seperti terseret ke dalam dunia Laksita. Penggambaran imajinasinya, terkadang mengingatkan saya akan diri sendiri, meskipun dengan media penyaluran yang berbeda. Pemikiran Laksita terasa tergambar secara jelas, menampilkan kepiawaian Naelil dalam menggubah imajinasinya ke dalam sebuah cerpen.
Social labelling yang dialami Laksita menggambarkan bagaimana tanggapan orang-orang di sekitar Laksita terhadap mereka yang berdeviasi dari mayoritas pada suatu kelompok. Label "bodoh", "gila", "idiot" dan sebagainya memiliki bahaya laten terhadap objek label. Lingkungan yang berisi social labelling dan tekanan dari berbagai pihak, terutama orang dekat, bukanlah lingkungan yang baik bagi kreatifitas untuk tumbuh subur. Hal seperti ini mungkin saja terjadi kepada Laksita-Laksita lainnya di dunia nyata. Lalu, siapa yang harus disalahkan?
Gagasan Naelil dalam cerpennya mungkin saja menggambarkan pengalamannya, walau tak secara eksplisit. Gagasan tersebut mungkin saja membukakan mata pembaca terhadap labelling. Bahkan dalam dunia sosiologi, studi tentang Labelling Theory of Deviance merupakan salah satu topik yang dibahas serius. Di sini saya menutup tulisan saya dengan bagian yang ditulis Naelil di akhir cerpen.
“Laksita Btari,” senyum gadis itu mengembang. Ia telah siap membanggakan Ibu Pertiwi dengan cara yang disukainya. Biarpun orang mengatainya… sinting, bodoh….
Karena setiap anak memiliki keistimewaan…
Komentar
Posting Komentar
-Mohon untuk tidak spam di komentar-